Ini yg kudu aku tulis sekali maning, Nok., soal lebaran kemarin,
mestinya aku sigap datangi rumahmu, minta maaf sperti dulu.. Bukan aku lupa di
hari pertama dan kedua. Tapi aku sedang mengumpulkan keping2 kesalahan yg telah
aku perbuat.
Aku ga kepengen ada ada
sedikitpun khilaf yg terlewat. Sehingga masuk bulan berikutnya aku tak lagi
membawanya di bahu ini. Aku ingin mengibaratkan sebuah perjalanan yg selalu
saja menyertakan kesalahan dalam kelok likunya.
Seperti sungai Cilamaya yg selalu
mengelus pinggang tanggul yg ada pohon tablo ditepinya dan barisan gelagah
dipinggir lainnya.. Ketika hatinya setenang bulan, airnya menyanyikan tentang
temaram di lubuk pendiam.
Saat sungai Cilamaya marah,
menggelegak, airnya menyapu dinding tanggul itu.. Menggerus ribuan remah tanah.
Mengaduk tubuhnya menjadi lumpur kecoklatan.. “Sperti cokelatnya warna kulit
gadis2 dikampung kita dulu”..
Nok., semakin ke hilir aliran
sungai itu makin meraksasa. Apalagi jika hujan juga membawa balatentara. Sungai
cilamaya bisa merendam puluhan rumah. Memotong jalan, menyisakan sampah dan bau
serapah setelahnya. Sebelum akhirnya ia sampai dalam dekapan kekasih sejatinya
di ujung muara. Melebur bersama asinnya garam lautan.
Itulah yg aku maksud, Nok..
Terkadang kesalahan terjadi karena memang harus terjadi. Tak bisa dihindari.
Hanya kita yg tau agar tidak menumpuk kesalahan hingga berpeti peti. Sebab maaf
belum tentu tersedia satu laci.
Aku sudah mengumpulkan ingat apa
salahku padamu, Nok.. Aku kikis satu demi satu dari sejarah dan kenangan. Tidak
sampai satu peti, Koq..
Aku yakin kamu punya maaf sebesar bumi.. “Seperti
sungai Cilamaya yg telah memaafkan limbah yg telah mengotori dirinya.”