“Mak..
Tak usah kau hiraukan, ke mana kaki kupijakkan. Ketika aku mengembara
di bumi yang mulai retak. Memanggul pena, memetakan nasib di kertas putih. Berburu takdir yg tak bisa diterka.
“Mak...
Jika kau tak dapati baktiku
padamu, jangan menyesal karena air
susumu telah mengalir di darahku. Jangan merasa 'nelangsa karena bulir peluh mengucur
untuk membesarkan aku. Selama langkahku tak membuyarkan warna pelang, biarkan saja
aku mengembara, di bumi Tuhan kita. Tak peduli jejak kaki tinggalkan cerca. Ucap
jiwa sisakan kesah.
“Mak...
Kutahu doamu selalu membimbingku. Aku butuh nasihatmu karena perjalananku untk menguak dunia yg lega tak sesederhana
air yg mengalir. Tak seberuntung dg peristiwa yg serba kebetulan.
Aku tak ingin seperti layang-layang. Menyerah saja dipermainkan angin.
Ada cita yg harus dicari. Ada suara yg harus dikabarkan, serta ada cinta yg
mesti aku dapatkan.
“Mak....
Surga itu masih di telapakmu. Restu Tuhan masih berada di genggamanmu. Dan
.. saat aku berjalan menapaki bumi milik pertiwi, Aku sadar, baktiku tak seberapa, jika dibanding sebanyak sinar "serngenge" di kampung kita. Mungkin tak sekarang, Mak..
Entah kapan, Aku pun sungkan untuk berjanji.
“Sehat selalu di kampung., ya Mak...”💗💗