Cilamaya yang berada di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, memliki beberapa tetangga kecamatan, diantaranya Kecamatan Blanakan yang berada di Kabupaten Subang. Batas wilayah antar dua kecamatan yang berbeda kabupaten itu dipisahkan oleh bentangan aliran sungai Cilamaya yang konon sekarang warna airnya mengenaskan..”Hitam bagai oli bekas.!”.
Blanakan yang berada di muara
pantai itu, selain memiliki tempat pelelangan ikan juga terdapat tempat penangkaran
buaya, dan memiliki agenda tahunan yakni pesta laut, yang disebut Ruwat Laut.! Tradisi
ini dilaksanakan setiap setahun sekali sebagai wujud rasa syukur dan
pengharapan berkah atas hasil laut yang melimpah serta keselamatan para nelayan
di sana.
Dari sumber yg saya baca dari Tabloid-Target, Blanakan memiliki
cerita tentang “Mbah Buyut Perahu” yang di anggap orang pertama memasuki desa
ini.--- Konon, Mbah Buyut Perahu, sperti yang ditulis media itu, adalah seorang
raja Jawa yang sedang berlayar menuju Sumatera. Dalam pelayaran itu, rombongan raja kehabisan perbekalan, maka
diputuskan untuk menepi mencari logistik yang kebetulan pantai yang mereka
darati itu adalah desa Blanakan.
Digambarkan, kondisi Blanakan
pada saat itu masih jadi hutan bakau. Kemudian Raja bersama para punggawa mendarat di
lebatnya hutan Blanakan untuk berburu binatang atau apa saja yang bisa memenuhi
perbekalan di kapal. Namun, para punggawa yang mengawal raja berburu memiliki
niat jahat untuk mengusai harta yang ada di kapal, maka Raja pun dibunuh di
tengah hutan bakau. Setiba rombongan di kapal, permaisuri bertanya kepada para
punggawa.."Kemana Raja.?", para punggawa
itu menjawab.. "Raja tewas diterkam binatang". Permaisuri tak percaya, dia kepengen liat TKP tempat raja
tewas. Para punggawa menghalanginya dengan brutal, malah memperkosanya.
Namun..’"Kligane bae"..(Hahaha.."kligane bae", bahasa cilamaya banget.!), nasib berkehendak lain, sebelum Permaisuri diperkosa, tiba-tiba kapal
yang penuh harta itu karam bersama seluruh penumpanya yang hanya menyisakan tiang
layarnya saja. Setelah ratusan tahun dari peristiwa itu, rawa dan hutan bakau
Blanakan menjadi daratan yang bisa dihuni oleh para nelayan.
Katanya siihh., keberadaan tiang layar perahu masih ada hingga hari ini. Dan oleh warga lokasi dimana perahu itu tenggelam telah dibangun makam yang di kenal dengan makam Mbah Buyut Perahu. Keberadaan makam itu hingga sekarang masih banyak dikunjungi warga. Selain untuk berziarah, ada juga yang mengadakan ritual kepengen coba-coba mengangkat harta yang terpendam di sana.
Katanya siihh., keberadaan tiang layar perahu masih ada hingga hari ini. Dan oleh warga lokasi dimana perahu itu tenggelam telah dibangun makam yang di kenal dengan makam Mbah Buyut Perahu. Keberadaan makam itu hingga sekarang masih banyak dikunjungi warga. Selain untuk berziarah, ada juga yang mengadakan ritual kepengen coba-coba mengangkat harta yang terpendam di sana.
Versi lain ada yang menyebut nama Blanakan itu berasal dari kata “Belah
sanak!”. atau “memutuskan hubungan kerabat”.– Seperti ditulis Udzen’s
Site di blanakanku.blogspot.com,
dia bercerita,.. Dahulu ada seorang nelayan bernama Ki Buyut Perahu berlayar
bersama istri dan adik lelakinya untuk mencari nafkah. Dalam perjalanannya
mereka singgah dan menetap disalah satu tempat yang masih ‘perawan, berupa
rawa yang jumlah penduduknya masih sedikit. Ketiga orang tersebut hidup dengan
cara mencari makanan di tepi sungai atau melaut.
Dikisahkan oleh Udzens, pada suatu hari Ki Buyut Perahu berangkat melaut tetapi hari itu tanpa disertai adik lelaki. Setelah
seharian melaut, Ki Buyut pulang ke rumah dengan hanya membawa seekor ikan.. dan..
betapa terkejutnya, sesampai di rumah, ia mendapati adik lelakinya sedang “bercinta”
dengan istrinya. Seketika Ki Buyut marah dan berteriak.. Mulai hari ini kita ‘belah sanak.. Putus hubungan keluarga. !”.
Pertengkaran yang ditonton
warga itu, ucapan Ki Buyut yang menyebut “Belah sanak” mengilhami warga untuk memberi nama tempat yang mereka tinggali jadi “Blanakan”. Dan seekor ikan
yang dilempar Ki Buyut dari hasil melautnya itu, dinamakan ikan Blanak, asal kata dari “Blenak”, bahasa Jawa pantura yang artinya.. “Kaga seddaaaaaaappp.!”.
Sesuai dengan perasaan Ki Buyut Perahu yang tak sedap melihat pemandangan istri dan adik lelakinya kepergok sedang bercinta.
Sesuai dengan perasaan Ki Buyut Perahu yang tak sedap melihat pemandangan istri dan adik lelakinya kepergok sedang bercinta.