Peritiwa Malari
adalah singkatan dari Peristiwa “Malapetaka
Limabelas Januari”. Sebuah peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa bersama
massa yang berakhir dengan kerusuhan sosial. Terjadinya peristiwa tersebut pada
tanggal 15 Januari 1974.
Sekitar
tahun itu, kendaraan jenis Colt-Mini buatan Mitsubhisi-Jepang sedang jadi angkot
primadona di Cilamaya untuk menggantikan tugas oplet–reot yang sudah pada kelelahan
melayani penumpang dari Cilamaya ke Cikampek, bolak-balik dari jaman jebot.!,
Hihi.
Colt-Mini
mobil berbentuk kapsul itu, konon dirakit oleh perusahaan Kramayuda Tiga
Berlian yang karoserinya berada di Magelang, Jawa Tengah. Pada dekade tahun
70-an, kendaraan angkutan umum ini menjadi angkot “mewah”, dibanding angkot
pendahulunya dari jenis oplet. Karena jenis dan modelnya lebih krren dari
oplet, kalo naik Colt-mini dari Cikampek ke Cilamaya, perasan seperti berada
dalam sedan impalla, Hehe.. “Empuk.!”.
“Pokone berag lah., mun bisa numpak mobil sing
masih anyar kuwe. Malah akeh bocah sing sengaja pada ‘ajrut-ajrutan saking
senenge”, Hehe..
Pemilik
angkutan jenis ‘Colt-mini ini kebanyakan para haji ‘sugih yang berada di daerah Kedung Asem, Gempol dan Jatiragas.
Disebut “colt-mini” mungkin untuk membedakan dengan produk Tiga-Berlian jenis
‘open-cup” yang banyak digunakan untuk kebutuhan angkutan niaga dan juga pengangkut
gabah ke pabrik-pabrik.
Belakangan
Colt jenis open-cup tergeser oleh daya
beli petani Cilamaya yang tambah ‘benghar.
Mereka sudah mampu untuk membeli truck merk Fuso sebagai armada yang lebih
besar untu mengangkut hasil panennya.
Sepertinya
di tahun ‘sgitu, meskipun di
Indonesia ada beberapa mobil buatan eropa, namun hanya merk mobil jenis Colt
Mitsubhisi Tiga Berlian yang paling “merajelela”. Dimana-mana ada, persis
seperti jaman sekarang, dimana-mana ada Toyota Kijang.!.. “Jadi mobil sejuta umat”.
“Tiga Berlian si Raja Jalanan”, menjadi slogan iklan kendaraan Colt produksi Mitshubisi
itu, yang kerap tiap malam tayang di TVRI. Pelakon dalam iklan itu para pelawak
dari group Kwartet-Jaya. Ada Ateng, Ishak, dan Edy-Sud. “Kalo ga salah, waktu itu Bing Slamet sudah meninggal”.
Kejayaan
kendaraan jenis ini berakhir setelah meletusya Peristiwa “MALARI”. Pada
kejadian itu, kendaraan colt mitsubhisi banyak dibakar massa, terutama di Jakarta
dan Bandung. Peristiwa itu meletus bersamaan dengan kunjungan Perdana Menteri
Jepang, bernama Tanaka, yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974, yang
disingkat menjadi Peristiwa Malari.. “Malapetaka
Limabelas Januari”.
Kunjungan
Perdana Menteri Jepang, Tanaka ke Indonesia dijadwalkan akan berlangsung dari tanggal
14 hingga 17 januari 1974. Mulai kedatangannya di pangkalan Udara Halim Perdana
Kusuma, Jakarta, para mahasiswa dan massa telah menyambutnya dengan melakukan berdemonstrasi.
Seperti ditulis
Husein Abdulsalam di media Tirto.id, saat itu di Bandara Halim Perdanakusuma,
pukul 19.45. Pesawat Super DC-8 JAL mendarat dengan mulus di landasan. Perdana
Menteri Jepang Kakuei Tanaka dipersilakan keluar dari pesawat. Tidak ada
upacara militer dan sambutan kenegaraan. Setelah menerima kalungan bunga,
Tanaka meluncur ke Wisma Negara untuk beristirahat.
Presiden
Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Tanaka serta rombongannya pada 15
Januari 1974, di Istana Negara. Pada saat bersamaan, ribuan orang, yang sebagian
besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka
berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Hariman
Siregar adalah ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus
pimpinan aksi massa pada hari itu. Atas komandonya, para mahasiswa melakukan
long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti, Jalan Kiai
Tapa, Jakarta Barat. Di penjuru lain Jakarta, aksi massa juga berlangsung.
Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen. Di sana massa membakar
proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun. Mereka mengajukan tiga
tuntutan yang dinamakan “Tritura Baru
1974”: Pertama, bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri); kedua,
turunkan harga; ketiga, ganyang korupsi.
Bagi para
demonstran, modal asing yang beredar di Indonesia sudah berlebihan. Menurut
mereka Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang
adalah bentuk imperialisme gaya baru.
“Kami akan membakar semua produk Jepang,” kata seorang
demonstran, seperti dilaporkan jurnalis New York Times Richard Halloranjan
dalam artikel “Violent Crowds in Jakarta Protest the Visit by Tanaka”
Saat itu Panglima
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dijabat oleh
Soemitro. Sesuai dengan namanya, Kopkamtib tentu saja dibentuk untuk menjaga
keamanan dan ketertiban. Ketika mendengar kabar para demonstran masuk ke Jalan
Thamrin, dia langsung loncat ke atas mobil jip. Dalam pikirannya hanya satu:
para demonstran tidak boleh masuk Monumen Nasional (Monas). Dia bergegas
menghampiri mereka.
Namun,
baru sampai Sarinah, laju mobil jipnya melambat. Jalanan macet karena
terhalangi demonstran yang berkumpul di depan Kedutaan Besar Jepang yang
terletak tidak jauh dari Sarinah. Soemitro lantas naik ke badan mobil jip.
Laki-laki yang lahir pada 1925 itu berorasi. Lewat pengeras suara, kata-katanya
bisa didengar semua demonstran yang ada di situ.
“Saya mengerti aspirasi saudara-saudara. Saya
mengerti uneg-uneg kalian. Tapi, percayakan soal itu kepada pemerintah kita,” kata Soemitro. Ia
mengakhiri orasinya dengan pertanyaan, “Kalian
percaya atau tidak pada saya?”
Pada hari
malapetaka itu, tepat di depan kantor CSIS para demonstran berhenti. Mereka
berteriak-teriak seraya mengejek lembaga yang didirikan dua orang ASPRI
Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka bilang Ali Moertopo
adalah antek-antek Jepang. Ali Moertopo tidak terima. Laki-laki yang juga
menjabat deputi kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu marah dan
meraih pistolnya. Jusuf Wanandi, yang saat itu bekerja di CSIS, berusaha
mencegah tindakan Ali.
Pada hari
itu juga, wartawan Tempo Martin Aleida mendapat tugas memotret. Dalam suatu
tayangan dokumenter bertajuk “Menolak Lupa” yang disiarkan Metro TV, dia
mengisahkan ketika iring-iringan massa lewat di depannya sambil meneriakkan
ucapan yang menyeramkan.
Pada
malam harinya, saat jamuan makan malam, Presiden Soeharto meminta maaf kepada
Tanaka atas gelombang protes yang muncul. Tanaka menanggapinya dengan
mengatakan dia paham atas situasi yang terjadi. Dia pun meminta Soeharto untuk
tidak mengkhawatirkannya.
Keesokan
hari, 16 Januari 1974, aliran demonstrasi tidak kunjung mereda. Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin resah. Laki-laki yang akrab disapa Bang Ali itu memutuskan
pergi ke kampus UI di Salemba.
Kabar
Bang Ali sedang berada di UI itu pun sampai ke Soemitro lewat laporan dari
Kepala Staf Kopkamtib Sudomo. Soemitro meminta Bang Ali untuk meneruskan dialog
dengan mahasiswa. Pesan Soemitro: katakan kepada mahasiswa bahwa persoalan
sudah selesai, usahakan supaya aksi mahasiswa mereda.
Pada
malam hari, Bang Ali berbicara kepada para mahasiswa seraya menekankan, jika
demonstrasi terus berlangsung, korban dari pihak mahasiswa akan berjatuhan.
Bang Ali pun mengajak Hariman ke TVRI. Lewat siaran TVRI, Hariman mengumumkan
persoalan yang dihadapi mahasiswa sudah selesai.
Imbauan
Hariman di TVRI itu mampu meredam aksi mahasiswa. Namun, malapetaka sudah
kadung terjadi. Sebanyak 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar
massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat,
160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan.
Setelah
Malari 1974, Soeharto memecat Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib. Ia juga
membubarkan lembaga Aspri dan Ali Moertopo dipindah tugas sebagai Wakil Kepala
Bakin. Sedangkan “nasib baik” justru menghampiri Ali Sadikin. Berkat
keberaniannya menerobos kampus UI, Bang Ali dihomati betul oleh para mahasiswa.
Sementara
itu, beberapa media massa terkena imbasnya. Karena dianggap memberikan proporsi
berita berlebihan dan memanaskan suasana, Harian Abadi, Pedoman, Indonesia
Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times diberedel pemerintah.
Lalu,
sebanyak 775 orang aktivis ditangkap. Di antaranya Hariman Siregar, tokoh
Partai Sosialis Indonesia (PSI, partai bentukan Sutan Sjahrir yang sudah lama
bubar) Soebadio Sastrosatomo, aktivis HAM Adnan Buyung Nasution dan J.C.
Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.