15 January 2020

Peristiwa Malari Meletus, Ketika Colt Mini Lagi Jadi Primadona di Cilamaya.


Peritiwa Malari adalah  singkatan dari Peristiwa “Malapetaka Limabelas Januari”. Sebuah peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa bersama massa yang berakhir dengan kerusuhan sosial. Terjadinya peristiwa tersebut pada tanggal 15 Januari 1974.

Sekitar tahun itu, kendaraan jenis Colt-Mini buatan Mitsubhisi-Jepang sedang jadi angkot primadona di Cilamaya untuk menggantikan tugas oplet–reot yang sudah pada kelelahan melayani penumpang dari Cilamaya ke Cikampek, bolak-balik dari jaman jebot.!, Hihi.

Colt-Mini mobil berbentuk kapsul itu, konon dirakit oleh perusahaan Kramayuda Tiga Berlian yang karoserinya berada di Magelang, Jawa Tengah. Pada dekade tahun 70-an, kendaraan angkutan umum ini menjadi angkot “mewah”, dibanding angkot pendahulunya dari jenis oplet. Karena jenis dan modelnya lebih krren dari oplet, kalo naik Colt-mini dari Cikampek ke Cilamaya, perasan seperti berada dalam sedan impalla, Hehe.. “Empuk.!”.

“Pokone berag lah., mun bisa numpak mobil sing masih anyar kuwe. Malah akeh bocah sing sengaja pada ‘ajrut-ajrutan saking senenge”, Hehe..

Pemilik angkutan  jenis ‘Colt-mini ini kebanyakan para haji ‘sugih yang berada di daerah Kedung Asem, Gempol dan Jatiragas. Disebut “colt-mini” mungkin untuk membedakan dengan produk Tiga-Berlian jenis ‘open-cup” yang banyak digunakan untuk kebutuhan angkutan niaga dan juga pengangkut gabah ke pabrik-pabrik. 
Pada saat itu Mitsubishi memang mengeluarkan dua variant jenis kendaraan colt, masing-masing disebut “colt-mini” untuk angkutaan penumpang dan satu lagi jenis ‘pic-up untuk mengangkut barang dan hasil pertanian. Jenis Colt pick-up atau open-cup produksi Mitsubhisi itu, orang Cilamaya menyebutnya ‘Colt-buntung’, lantaran tak memiliki atap. 

Belakangan Colt jenis open-cup tergeser oleh  daya beli petani Cilamaya yang tambah ‘benghar. Mereka sudah mampu untuk membeli truck merk Fuso sebagai armada yang lebih besar untu mengangkut hasil panennya.

Sepertinya di tahun ‘sgitu, meskipun di Indonesia ada beberapa mobil buatan eropa, namun hanya merk mobil jenis Colt Mitsubhisi Tiga Berlian yang paling “merajelela”. Dimana-mana ada, persis seperti jaman sekarang, dimana-mana ada Toyota Kijang.!.. “Jadi mobil sejuta umat”.

“Tiga Berlian si Raja Jalanan”, menjadi  slogan iklan kendaraan Colt produksi Mitshubisi itu, yang kerap tiap malam tayang di TVRI. Pelakon dalam iklan itu para pelawak dari group Kwartet-Jaya. Ada Ateng, Ishak, dan Edy-Sud. “Kalo ga salah, waktu itu Bing Slamet sudah meninggal”.

Kejayaan kendaraan jenis ini berakhir setelah meletusya Peristiwa “MALARI”. Pada kejadian itu, kendaraan colt mitsubhisi banyak dibakar massa, terutama di Jakarta dan Bandung. Peristiwa itu meletus bersamaan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang, bernama Tanaka, yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974, yang disingkat menjadi Peristiwa Malari.. “Malapetaka Limabelas Januari”.

Kunjungan Perdana Menteri Jepang, Tanaka ke Indonesia dijadwalkan akan berlangsung dari tanggal 14 hingga 17 januari 1974. Mulai kedatangannya di pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, para mahasiswa dan massa telah menyambutnya dengan melakukan berdemonstrasi.

Seperti ditulis Husein Abdulsalam di media Tirto.id, saat itu di Bandara Halim Perdanakusuma, pukul 19.45. Pesawat Super DC-8 JAL mendarat dengan mulus di landasan. Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dipersilakan keluar dari pesawat. Tidak ada upacara militer dan sambutan kenegaraan. Setelah menerima kalungan bunga, Tanaka meluncur ke Wisma Negara untuk beristirahat.

 
Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Tanaka serta rombongannya pada 15 Januari 1974, di Istana Negara. Pada saat bersamaan, ribuan orang, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA,  turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.

Hariman Siregar adalah ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus pimpinan aksi massa pada hari itu. Atas komandonya, para mahasiswa melakukan long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti, Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat. Di penjuru lain Jakarta, aksi massa juga berlangsung. Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen. Di sana massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun. Mereka mengajukan tiga tuntutan yang dinamakan “Tritura Baru 1974”: Pertama, bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri); kedua, turunkan harga; ketiga, ganyang korupsi.
 
Bagi para demonstran, modal asing yang beredar di Indonesia sudah berlebihan. Menurut mereka Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang adalah bentuk imperialisme gaya baru.

“Kami akan membakar semua produk Jepang,” kata seorang demonstran, seperti dilaporkan jurnalis New York Times Richard Halloranjan dalam artikel “Violent Crowds in Jakarta Protest the Visit by Tanaka”

Saat itu Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dijabat oleh Soemitro. Sesuai dengan namanya, Kopkamtib tentu saja dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Ketika mendengar kabar para demonstran masuk ke Jalan Thamrin, dia langsung loncat ke atas mobil jip. Dalam pikirannya hanya satu: para demonstran tidak boleh masuk Monumen Nasional (Monas). Dia bergegas menghampiri mereka.

Namun, baru sampai Sarinah, laju mobil jipnya melambat. Jalanan macet karena terhalangi demonstran yang berkumpul di depan Kedutaan Besar Jepang yang terletak tidak jauh dari Sarinah. Soemitro lantas naik ke badan mobil jip. Laki-laki yang lahir pada 1925 itu berorasi. Lewat pengeras suara, kata-katanya bisa didengar semua demonstran yang ada di situ.

“Saya mengerti aspirasi saudara-saudara. Saya mengerti uneg-uneg kalian. Tapi, percayakan soal itu kepada pemerintah kita,” kata Soemitro. Ia mengakhiri orasinya dengan pertanyaan, “Kalian percaya atau tidak pada saya?”
 
Pada hari malapetaka itu, tepat di depan kantor CSIS para demonstran berhenti. Mereka berteriak-teriak seraya mengejek lembaga yang didirikan dua orang ASPRI Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka bilang Ali Moertopo adalah antek-antek Jepang. Ali Moertopo tidak terima. Laki-laki yang juga menjabat deputi kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu marah dan meraih pistolnya. Jusuf Wanandi, yang saat itu bekerja di CSIS, berusaha mencegah tindakan Ali.

Pada hari itu juga, wartawan Tempo Martin Aleida mendapat tugas memotret. Dalam suatu tayangan dokumenter bertajuk “Menolak Lupa” yang disiarkan Metro TV, dia mengisahkan ketika iring-iringan massa lewat di depannya sambil meneriakkan ucapan yang menyeramkan.

Pada malam harinya, saat jamuan makan malam, Presiden Soeharto meminta maaf kepada Tanaka atas gelombang protes yang muncul. Tanaka menanggapinya dengan mengatakan dia paham atas situasi yang terjadi. Dia pun meminta Soeharto untuk tidak mengkhawatirkannya.

Keesokan hari, 16 Januari 1974, aliran demonstrasi tidak kunjung mereda. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin resah. Laki-laki yang akrab disapa Bang Ali itu memutuskan pergi ke kampus UI di Salemba.

Kabar Bang Ali sedang berada di UI itu pun sampai ke Soemitro lewat laporan dari Kepala Staf Kopkamtib Sudomo. Soemitro meminta Bang Ali untuk meneruskan dialog dengan mahasiswa. Pesan Soemitro: katakan kepada mahasiswa bahwa persoalan sudah selesai, usahakan supaya aksi mahasiswa mereda.

Pada malam hari, Bang Ali berbicara kepada para mahasiswa seraya menekankan, jika demonstrasi terus berlangsung, korban dari pihak mahasiswa akan berjatuhan. Bang Ali pun mengajak Hariman ke TVRI. Lewat siaran TVRI, Hariman mengumumkan persoalan yang dihadapi mahasiswa sudah selesai.

Imbauan Hariman di TVRI itu mampu meredam aksi mahasiswa. Namun, malapetaka sudah kadung terjadi. Sebanyak 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan.

Setelah Malari 1974, Soeharto memecat Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib. Ia juga membubarkan lembaga Aspri dan Ali Moertopo dipindah tugas sebagai Wakil Kepala Bakin. Sedangkan “nasib baik” justru menghampiri Ali Sadikin. Berkat keberaniannya menerobos kampus UI, Bang Ali dihomati betul oleh para mahasiswa.

Sementara itu, beberapa media massa terkena imbasnya. Karena dianggap memberikan proporsi berita berlebihan dan memanaskan suasana, Harian Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times diberedel pemerintah.

Lalu, sebanyak 775 orang aktivis ditangkap. Di antaranya Hariman Siregar, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI, partai bentukan Sutan Sjahrir yang sudah lama bubar) Soebadio Sastrosatomo, aktivis HAM Adnan Buyung Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.